Postingan

Hujan Terpanjang

Tuhan memberi pemahaman tentang bulan ini, bagaimana hadiah kecil sesederhana hujan selalu hadir menyapa ku setiap hari. Tuhan memahami bahwa ini bulan milikku, maka seharusnya benar ini adalah perayaan hujan terpanjang yang ku miliki. Dan Tuhan tahu, tidak ada yang baik-baik saja di bulan Maret ini, dengan hujan barangkali sedikit menghiburku. Aku tahu tidak banyak juga tidak memperbaiki segalanya, namun ini cukup untuk membuatku memahami bahwa tidak ada yang lebih baik dari ikut serta merawat luka meski dengan waktu berkepanjangan. Februari menjadi alasan mengapa aku sampai disini, bagaimana dengannya aku merasa beruntung sebagai manusia. Tidak ada hujan yang panjang, namun dengannya aku lebih banyak tersenyum. Hingga detik ini aku berdiri karena harapan bahwa selayak Februari akan hadir kembali meski entah kapan waktu itu tiba.  Tuhan, aku pernah berdoa untuk hujan lebih lama. Kini terjawab sudah hujan membersamai ku lebih dari yang ku bayangkan. Entah harus berbahagia atau kah ...

Dan Lautan Dua

 "Aku takut terbang. Karena di lautan itu aku merasa aman, merasa damai, merasa pada akhirnya aku rela mati disana. Aku ingin pada suatu hari nanti, lautan tersebut bisa berubah menjadi cerah, agar kita bisa melihat langit bersama. Bolehkah aku memilikinya" Aku membuka kotak lama, lalu seseorang pernah mengatakan itu kepada ku, betapa hebat manusia saling berbagi, mengasihi, dan memberi setiap hal yang ia miliki agar bisa bersama sedalam apapun lautan itu. Aku tidak tahu tulisan ini akan kah membantu atau tidak. Tidak ada keputusan serta pilihan yang benar pun salah, manusia tidak memiliki hak di dalamnya. Lebih dari seratus hari aku menari di bawah langit yang bukan hanya memberikan hujan, namun warna lain meski tidak sempurna. Aku merasa hangat, dicintai, dikasihi, dan memiliki alasan kenapa aku harus sedikit hidup lebih lama. Aku selalu mempertanyakan, apakah benar-benar ada yang mampu bersama ku, mencintai, mengasihi, lalu memeluk dan menari bersama hujan dengan manusia s...

Tepian Lima

Menepi untuk laut ke lima. Tuhan, terima kasih telah memberi kesempatan untuk sampai pada bagian ini. Juga langit, terima kasih. Semesta memahami diriku lebih dari siapapun, dan Batavia kali ini mungkin menjadi tempat untuk menepi terbaik saat semua yang terjadi belakangan tidak membuat ku baik-baik saja selain bersama anak-anak setiap pagi. Langit, aku tidak pernah berharap apapun meski ingin. Aku hanya manusia biasa, meski sudah berusaha untuk tidak, namun rupanya aku tidak sekuat itu. Tapi kamu tenang saja, aku masih bisa mengendalikan semuanya. Apapun yang terjadi, aku harus merayakan setiap tepian yang menyuruh ku bercerita sejenak dari perjalanan kita. Meski rasanya untuk saat ini kita sedang tidak tahu keadaan langit mu juga lautan ku. Aku rindu kamu, kamu sedang apa? bukan aku abai, namun aku terlalu takut untuk semakin jauh dari mu, karena aku tidak pernah lupa apa yang kamu ucapkan. Ini berat, tapi bukankah ini bukan kali pertama? Seharusnya tidak seberat ini. Aku percaya kam...

Malam Ini

Ini sudah malam, kata orang waktunya terlelap. Kata orang seharusnya ini waktu yang tepat untuk mengistirahatkan banyak hal yang terjadi seharian penuh. Segalanya terjadi hari ini, semua nampak baik-baik saja di mata ku. Anak-anak dan dongeng yang minta diputar ulang, keluarga ku dan obrolan-obrolannya, juga orang-orang dengan sapaannya. Mata ku berkata baik-baik saja, namun kata hati itu tidak benar. Ada banyak hal yang tidak bisa diungkapkan oleh hati selain saat tidak sengaja melukai hati kecil mereka. Satu hal yang paling ku benci di dunia ini adalah saat aku harus melukai hati kecil mereka dengan tidak sengaja. Tuhan, aku benci hal ini. Tidak ada hati yang ingin terluka. Juga tidak ada hati yang ingin melukai. Katanya, manusia punya titik kendali untuk salah satunya. Bagaimana pun barangkali ini adalah bagian kehidupan yang tidak bisa dihindari, tidak bisa dikendalikan. Manusia, tetaplah manusia. Makhluk tidak sempurna. Ketidaksempurnaan ini aku rayakan, selayaknya merayakan hari ...

Duka Berhujan

Hujan, lagi dan lagi. Lagi dan lagi aku pulang. Dan kepulangan ku kali ini dengan duka sejak fajar tadi. Jangan pernah bertanya tentang sebab duka, karena aku pun tidak mengetahui jawabannya. Selayak bumi yang tiba-tiba gelap saat beberapa menit yang lalu ceria dengan suryanya, maka bukankah manusia pun bisa demikian? Hujan di bulan ini sama halnya dengan kejutan Tuhan untuk awal dari bulan yang selalu ku rayakan ini. Bagaimana pun, ini adalah bagian dari diri ku. Aku tidak bisa tinggal diam. Juga tidak bisa tinggal diam untuk rinai yang sedari tadi menemani diri ku. Tuhan, baru saja aku merayakan duka ini. Berharap semua yang ku rasakan segera pulih dan pergi berdatang tenang, namun rasanya ini tidak cukup sampai aku berpikir haruskah berlari dan menari diatas hujan? Sebab aku tidak menemukan kelegaan, haruskah aku menyatu dengan tanah saat hujan memelukku erat? Bagaimana bisa tubuh ku sampai detik ini masih menulis? Bukankah seharusnya aku sedang merayakan kelegaan di bawah sana? Tuh...

Untuk Jiwa Jiwa Kecil

 Februari hari ini, saat hari-hari dipenuhi hujan. Pun dipenuhi jadwal yang tidak ada habisnya. Lalu aku menyadari bahwa hujan ku beberapa hari terakhir ini terlihat biasa tanpa percakapan kita. Aku disini, pulang untuk berbagi. Tentang beberapa hal yang hanya bisa terucap saat hujan turun. Tentang beberapa hal yang hanya bisa didengar oleh hujan. Jiwa ku terbawa jauh melewati banyak hal, menyibukan diri untuk membunuh waktu. Sampai aku menyadari bahwa beberapa hal telah berubah. Kali ini bukan tentang diri ku, bukan tentang rumah ku, juga bukan tentang langit. Kali ini tentang anak-anak ku, malaikat berhati tulus yang selalu membuat hari ku jauh lebih baik. Hujan kali ini adalah representasi dari air mata ku yang jatuh sejak tadi. Ini berisyarat tentang betapa bahagia menyaksikan perkembangan mereka. Aku bahagia sebagai sosok yang andil dalam proses mereka. Dari nol kita melalui semua ini, sampai hari ini mereka menunjukkan hal luar biasa untuk ku, lalu apakah aku hanya diam? Sela...

Tepian Empat

 Sungguh, ini rasanya tidak mungkin tapi aku harus melakukannya. Namun apapun yang terjadi, hari ini adalah hari raya ku dengan langit yang lebih ku sukai saat hujan akan turun. Ia langit, yang sore tadi mengabari ku, yang sore tadi tertawa juga membuat ku kesal secara bersamaan. Tentang biru, jingga, dan penghuni langit lainnya. Aku selalu berharap semua baik-baik saja meski tidak mungkin sempurna. Namun doa ini tidak akan pernah berhenti berharap. Langit, selamat menepi untuk tepian ke empat ini. Andaikan kamu telah benar di sampingku setiap saat aku membuka mata, rasaya aku akan memelukmu kali ini. Merayakan tepian kali ini. Bercerita lalu berencana untuk kisah semesta nanti akan seperti apa? Langit, aku selalu menerima setiap hal yang hadir. Biru, jingga, bahkan se pekat apapun kelabu mu, aku akan mencoba menerima segalanya meski tidak sempurna. Dan langit, untuk setiap ketidaksempurnaan ini, tolong berilah ruang, aku harap kamu tidak keberatan. Langit, terima kasih di awal per...