Postingan

Laut Malam

Tujuh hari sebelum Oktober berakhir, pada saat langit bertemu lautan dalam garis kegelapan yang sama. Malam yang gelap, bersama sedikit cahaya bintang yang mengingatkan ku bahwa setiap hal tidak serta merta hitam, bahwa ternyata malam gelap sekalipun tetap Tuhan suguhi bintang, namun kali ini aku urung membicarakan bintang. Biarkan saja tulisan ini entah kemana, entah sampai mana, dan entah bagaimana jadinya. Tuhan, jika saja malam ini satu tetes hujan turun untuk memelukku, maka aku tidak akan berpikir dua kali untuk lari dan memeluknya. Aku ingin hujan untuk ke sekian kalinya, seperti saat aku membutuhkan mu disaat-saat tergelap, begitupun hujan setelahnya. Tuhan, bagaimana lautan tercipta dengan keindahan warnanya, biru yang jernih sampai gelap tergelap ia dapati. Seharusnya lautan tidak perlu merepotkan orang lain untuk memahaminya. Seharusnya lautan tidak rumit untuk dipahami siapapun. Seharusnya lautan hanya satu wajah dirinya. Seharusnya apa yang mereka lihat begitulah seharusny...

Untuk Jingga

 Jingga, apa yang salah pada senja sore hari? Waktu merangkak tidak berbalik arah, setiap hal kita jalani dengan segenap rasa yang Tuhan datangkan. Hari-hari berlalu tentang kenyataan bahwa kehidupan membawa banyak makna.  Aku menyukai senja yang menjadi bagian hidup ku. Tidak ingin aku menuntutnya untuk selalu indah dan menyuguhkan hal baik untuk semesta. Meskipun tidak bohong bahwa aku ingin senja seperti milik Nirbita, meskipun tidak bohong aku ingin senja seperti pada Seine maupun Halimunda. Meskipun sebenarnya aku iri dengan senja milik mereka, aku ingin namun untuk apa? Aku cukup dengan seperti saat ini. Senja yang kata mereka sangat indah dan sempurna. Sungguh Tuhan, sejauh ini? Sampai topeng ku benar-benar seperti nyata dihadapan mereka. Tuhan, aku menyukai setiap hal yang ku miliki. Meskipun tidak setiap hal ku terima dengan baik di awal, tapi aku selalu berusaha untuk menjadi tuan yang baik untuk kisah ku. Aku tidak ingin memberontak lagi, aku tidak ingin memaki lagi...

Setelah Hujan

Oktober, mantra ini akhirnya terjadi. Akhirnya pelukan itu kembali. Lalu hujan pun datang.. Kala itu, seseorang datang mencoba menarik hati ku. Gadis kecil berbandana ungu lalu matanya yang besar memberi beberapa syarat untuk tinggal. Berharap bahwa cinta yang ia tawarkan akan sampai hari itu. Berharap bahwa tak harus merasa terbagi oleh ibu yang selalu ia puja. Berharap bahwa setiap kebahagiaan yang ia rencanakan itu akan hadir hari itu juga. Gadis kecil itu berdoa dengan hebat, pada hujan yang turun, pada lautan yang menjadi temannya. Semesta mengiyakan, namun gadis kecil itu lupa bahwa waktu bisa saja sedikit membunuh. Kemana ia harus pergi? Terjebak dengan pilihan sendiri. Jatuh dengan harapan sendiri yang ternyata hanya omong kosong. Gadis itu benar-benar berdoa lalu Tuhan iya kan, namun gadis itu lupa bahwa beberapa hal bisa saja melukai. 12 tahun ia terjerembab, tubuhnya tidak mampu melihat apapun selain luka itu. Tentang cinta yang benar-benar hilang namun ada di balik dinding ...

Setelah Langit

 Hari ke sekian tanpa hujan... Menurut mu, apa yang bisa dicinta dari diriku? Bukan apa hanya bersiap, tak ada yang tahu. Aku takut Tak pernah ada yang lama menunggu sejak dulu. Nadin selalu mengingatkan tentang siapa aku. Ada banyak hal yang sulit dipahami, namun ku rasa sesingkat itu, kamu seharusnya paham. Langit, aku tidak suka merepotkan siapapun. Aku takut menjadi beban, aku takut tidak bisa memberikan yang terbaik. Sungguh, aku sangat rumit. Apa kamu mau memahami ku? Apa kamu siap menyelam sampai dalam bersama ku? Apa kamu siap sampai di dasar kita hampir mati? Apa kamu siap menyelam lebih lama? Langit, semua tidak akan mudah kamu pun tahu itu. Aku hanya ingin, kamu terus yakin bahwa aku tidak akan pernah kalah dari setiap tantangan. Aku tidak akan pernah mundur. Langit, aku bersedia membuka tangan ku untuk menyelam dan mati bersama mu. Aku ingin menyelam bersama mu, tidak lagi sendiri. Aku perlu kamu saat tiba-tiba lautan membuatku tersesat. aku membuka tangan ku bukan kar...

Dan Lautan

 Selanjutnya tanpa hujan.. Dan lautan ini semakin hari semakin gelap, dingin, lalu sunyi yang tak berakhir. Lautan ini begitu dalam, bahkan terlalu dalam.  Aku bukanlah lautan yang indah seperti saat manusia datang untuk menumpahkan segalanya. Saat mata mereka melihat biru, jernih, hingga riuhnya angin. Begitu indah katanya. persetan mereka mengatakan demikian padaku, itu tidak benar. Sungguh.. Lalu ada seseorang yang menawarkan kapal untuk berlayar, bahkan berniat mematahkan sayapnya untuk ikut menyelam. Menyelami lautan dan menemaniku bahkan hingga mati di dasar laut. Pemilik sayap itu hanyalah bagian asing yang ku rasa bukan bagian penting setelah hujan. Namun dirinya mengusik rumah ku akhir-akhir ini begitu sering. Lalu aku terusik, juga sesekali tertawa bahkan merasakan kebahagiaan yang sama halnya saat hujan turun.  Ku bilang jangan padanya. Jangan ikut menyelam terlalu dalam, aku takut dia mati. Pernah ku jelaskan bahwa aku adalah lautan yang buruk, berbau busuk, d...

Terlalu Banyak Bicara

Aku sudah bilang, akhir-akhir ini aku terlalu banyak bicara. Maka tolong jangan meledek ku, semua ini membuat ku lebih baik sedikit. Bagian selanjutnya tanpa hujan, aku ingin berbagi tentang masa-masa sebelum saat ini. Sudah ku bilang, jika sedang senggang pikiran ku suka kemana-mana. Aku kembali teringat tentang hari sebelum rumah ini ada. Aku kembali mengingat tentang rumah yang dulu ku bangun dengan amarah, rumah yang ku bangun setelah berdarah, rumah yang ku bangun setelah malam itu rambut ku harus terkumpul dan berakhir di tempat sampah. Rumah yang ku bangun sampai detik ini, ternyata telah benar-benar menjadi rumah. Aku sempat mempertanyakan, bagaimana Tuhan membuatnya menjadi seperti saat ini. Tentang bagaimana aku yang sampai di titik saat ini. Tiga tahun lalu jika saja benar-benar berakhir, mungkin aku sudah berakhir dengan penyesalan bahwa aku masih bisa menari bersama hujan, penyesalan tidak mengenal Sri dan menyukai Zaman, lalu menyesal karena tidak bertemu dengan Abang dan...

Jika Hujan Tidak Kembali

Bagian selanjutnya tanpa hujan. Tanpa hujan lagi? Akhir-akhir ini aku memang lebih sering mengunjungi rumah ku ini, banyak bicara hahah. Setelah kemarin cukup jarang berkunjung, mungkin saja ini waktu yg tepat untuk banyak bercerita. Tapi apakah harus tanpa hujan? Kadang-kadang aku takut, bagaimana jika selanjutnya benar-benar tanpa hujan. Semua orang bisa pergi, aku juga tahu saat hujan pergi ia akan kembali dan yg ku takutkan adalah hujan yang benar-benar pergi, benar-benar pergi jauh sampai aku tidak bisa membayangkan seberapa sulitnya itu harus ku hadapi.  Meski di satu sisi aku bahagia, karena kini tanpa hujan, aku masih bisa menulis, bercerita, dan berbagi. Aku jadi ingat, orang jika sudah diberi jalan sendiri, dibuat mandiri, dan begitu seterusnya, mungkinkah seperti sosok anak dengan kedewasaannya yg telah dilepas orang tua. Bagaimana jika kisah ku dan hujan pun seperti itu. Bagaimana jika hujan benar-benar pergi dan tidak kembali. Apakah ia lebih tahu jika aku sanggup mele...