Terlalu Banyak Bicara
Aku sudah bilang, akhir-akhir ini aku terlalu banyak bicara. Maka tolong jangan meledek ku, semua ini membuat ku lebih baik sedikit.
Bagian selanjutnya tanpa hujan, aku ingin berbagi tentang masa-masa sebelum saat ini. Sudah ku bilang, jika sedang senggang pikiran ku suka kemana-mana. Aku kembali teringat tentang hari sebelum rumah ini ada. Aku kembali mengingat tentang rumah yang dulu ku bangun dengan amarah, rumah yang ku bangun setelah berdarah, rumah yang ku bangun setelah malam itu rambut ku harus terkumpul dan berakhir di tempat sampah. Rumah yang ku bangun sampai detik ini, ternyata telah benar-benar menjadi rumah. Aku sempat mempertanyakan, bagaimana Tuhan membuatnya menjadi seperti saat ini.
Tentang bagaimana aku yang sampai di titik saat ini. Tiga tahun lalu jika saja benar-benar berakhir, mungkin aku sudah berakhir dengan penyesalan bahwa aku masih bisa menari bersama hujan, penyesalan tidak mengenal Sri dan menyukai Zaman, lalu menyesal karena tidak bertemu dengan Abang dan Biby. Aku akan menyesal karena melewatkan cerita Sekala, mungkin pula aku akan menyesal karena tidak sempat mendengarkan lagu Paul. Tiga tahun lalu sebagai tuannya kekacauan jika Tuhan benar mengabulkan doa ku, maka semua penyesalan itu harus ku rasakan. Dan alangkah buruknya diri ku harus merasakan itu.
Lalu kini, aku ingin sedikit menjamu semesta. Merayakan semuanya, semua hal ternyata sudah semakin membaik. Meski tidak sepenuhnya. Meski lambat, meski aku tetaplah sosok menyebalkan. Meski semua kesakitan itu kadang muncul tiba-tiba, namun setidaknya semua ini bisa lebih baik. Entah lebih baik karena apa, tapi harus ku katakan bahwa Tuhan benar-benar baik dan membuat semuanya membaik. Aku bukan pemuja seperti mereka, tapi aku tahu syukur dan terima kasih itu harus kuucapkan pada siapa.
Tuhan, jika hidup yang menurut mu baik adalah dengan hadirnya sosok ku di bumi, maka tolong kuatkan aku.
Aku sempat sedikit tertawa, bagaimana semua membentukku menjadi berbeda dengan ku yang dulu. Sosok pemuja kematian, pemaksa yang Tuhan tutup mulutnya. Hingga kini lihatlah kalimat manisnya, meski sedikit masih bernada sama, tapi setidaknya tidak se buruk lalu.
Ah tidak. Ini belum berakhir, bahkan awal baru bagi ku. Aku kembali teringat, bahwa apapun bisa terjadi di depan. Aku takut semua yang telah sedikit membaik ini akan kembali seperti dulu bahkan lebih. Aku selalu percaya bahwa, semakin lama kita hidup, semakin sakit pula segalanya. Beruntung jika kita orang yang sehat, beruntung jika tidak harus menunggu hujan untuk sembuh, beruntung jika tanpa melihat rambut mu pendek untuk sembuh. Beruntung jika manusia itu hidup bukan seperti hidup sosok aku.
Ah Tuhan, baru saja aku sedikit lega dengan keadaan lalu. Bahkan aku berpikir jika tulisan ini akan berakhir manis, tapi ternyata di tengah perjalanan aku teringat akan hal itu.
Aku tidak buta bahwa masa badai hujan akan datang kapan saja. Aku tidak takut, aku tidak kaget, aku tahu segalanya. Namun yang ku takutkan adalah diri ku sendiri, bagaimana jika semuanya kembali. Bagaimana jika dalam hal menerima, diriku kembali seperti dulu bahkan lebih dari dahulu. Bagaimana jika semua seperti apa yang kutakutkan saat ini. Tuhan, aku harus apa?
Aku hidup dengan harapan bahwa besok lusa hujan akan turun, aku hidup dengan harapan bahwa besok lusa ayah ku akan kembali memberikan pesannya, aku hidup dengan harapan bahwa besok lusa aku akan bertemu kembali dengan sosok seperti Abang atau Biby. Aku hidup dengan harapan bahwa besok lusa aku akan semakin membaik. Tidak, bukan hidup ku. Tapi diri ku. Sudah ku katakan bahwa badai itu akan ada kapan pun, namun aku hanya ingin membaik tanpa harus kembali seperti dulu. Lalu yang ku khawatirkan adalah bagaimana jika pilihannya hanya dua, kembali seperti dulu atau bahkan lebih dari sosok aku yang dulu. Bagaimana jika Tuhan hanya memberi dua pilihan itu. Jika saja hujan turun saat ini, maka aku akan memaksanya untuk menyampaikan pada Tuhan bahwa tolong jangan beri plihan itu.
Aku takut, aku tahu tidak seharusnya. Sudah ku katakan, akhir-akhir ini aku banyak bicara. Aku suka rumah ku ini ramai, aku tidak tahu akan berkunjung kapan lagi. Terlebih hujan yang lama pergi, aku tahu harus apa. Mungkin, aku sebaiknya tidur, memberikan tubuh ku untuk dipeluk perasaan ini, atau membunuh waktu dengan mewarnai kuku ku. Entah ini perasaan apa, aku tidak tahu penawarnya apa. Namun aku hanya berharap, setidaknya Tuhan selalu mengingatkan ku dengan harapan-harapan itu, agar aku bisa sedikit baik-baik saja. Bahkan hanya sedikit.
Komentar
Posting Komentar