Tepian Satu
Hari ke tujuh dalam tepian pertama, malam ini bersama hujan aku kedinginan dalam kehangatan iramanya. Dan Tuhan, terima kasih untuk jawaban hujan kesekian kalinya. Terima kasih untuk setiap kebaikan mu. Aku ingin merayakannya kali ini. Duduk menepi, dan bercerita tentang langit yang sampai hari ini bersama ku.
Hujan, rasanya ini masih menjadi mimpi bagi ku. Setelah kamu akhirnya ada sosok yang bisa ku tulis. Dia adalah langit, langit tempat dimana matahari berseri, tempat dimana bintang bersinar, tempat dimana biru tinggal, bahkan tempat dimana jingga berpesta setiap sore. Dialah langit tempat siapapun ingin terbang disana. Dialah langit yang tinggi, dan penuh hal.
Namun langit yang ku suka tetaplah langit kelabu dan hitam, dengan gelap dan hujan setelahnya. Langit yang akan ku bicarakan adalah langit ku yang gelap bersama setiap hal di di dalamnya. Langit yang menemani kisah ku beberapa hari banyak ini. Langit yang selalu membaca ku setiap saat dia menginginkannya. Langit yang tak pernah sengaja menemukan tepian hingga masuk ke dasar lautan.
Hujan, dia datang begitu saja dan masuk ke rumah ku. Dia menyelami istana laut yang ku buat selama ini. Lalu dia menawarkan diri untuk menyesap teh di sore hari kala itu. Aku iyakan, lalu kita saling berbagi hal tentang banyak dari sekedar lautan. Sesekali ia meraba luka ku dan bertanya beberapa hal, terkadang juga ia menerka dan seolah menganggap dirinya adalah sosok yang paling mengenal ku. Ia begitu percaya diri dan selalu membuat ku diam. Kadang pula, ia berusaha memberi obrolan receh, dan membuat ku tertawa Ada pula satu waktu dimana kami saling terjerembab dalam membicarakan luka.
Hari-hari itu terus berulang sampai saat akhirnya dia menawarkan untuk menetap dan tinggal dalam kegelapan bersama ku. Meninggalkan setiap hal yang menarik netranya, melepaskan sayap yang ia miliki, dan turun ke dasar laut, katanya ia ingin menyelam lautan lebih dalam. Katanya ia ingin tahu seberapa indah kegelapan itu. Ku bilang jangan, namun aku mengetahui fakta bahwa dia adalah langit yang keras kepala. Hingga aku tidak bisa berkutik selain mengangguk dan bersedia melewati hari-hari di lautan bersamanya. Meski sebenarnya, aku tidak begitu percaya diri menyelam bersamanya. Sungguh..
Hujan, aku selalu berpikir bahwa rumah yang gelap ini siapa yang ingin berkunjung. Jika pun ada, barangkali ada kesalahpahaman tentang diriku sebagai tuan rumah. Aku tidak menyesali kedatangannya, hanya saja aku merasa tidak begitu percaya akan ada seseorang yang mengetuk pintu rumah ku dan memilih untuk tinggal lebih lama dari yang ku bayangkan. Hujan, aku masih tidak percaya dia adalah langit yang memilih ku.
Hujan, sebagaimana kedatangan mu, seperti itulah aku ingin berterima kasih atas kedatangannya. Aku tidak bisa berbohong tentang perjalanan pertama ini membawa banyak arti selain biru hingga jingganya. Lebih dari itu, aku ingin berterima kasih karena ia telah memilih ku. Langit itu, langit yang tidak ku harapkan sebelumnya. Namun ia datang memilih ku diantara banyak hal. Hujan, tolong katakan pada langit tentang hal ini. Baginya ini mungkin bukan hal besar, namun kamu pun tahu bahwa ini bukan hal kecil bagi ku.
Hujan, katakan pada langit aku ingin bertemu dengannya lagi di tepian selanjutnya, aku ingin kembali bercerita tentangnya. Hari ini aku tidak bisa bercerita banyak hal. Aku tidak percaya diri untuk membicarakannya lebih dalam meski aku ingin. Aku bukan mereka yang lebih lama mengenalnya sehingga bebas bercerita banyak. Aku hanyalah bagian kosong yang ia isi belum lama ini.
Langit, aku berharap hujan merayu Tuhan agar kita bisa selalu bertemu di tepian selanjutnya. Tolong beri aku kesempatan untuk bercerita tentang mu lagi, tolong beri aku kesempatan untuk menjadi sosok yang juga lebih lama bersama mu. Sehingga aku bisa bercerita dan terjun bebas di dalamnya. Membicarakan mu sebagai sosok yang paling mengenalmu, dan memahamimu. Dan langit, aku menunggu hari itu.
Sampai jumpa dan saling memeluk kembali di tepian selanjutnya. Aku berharap hujan nanti akan turun lebih lama.
Komentar
Posting Komentar