Sedia Hujan Menyapa
April, hari ke sepuluh. Pagi ini hujan turun setelah sekian lama, lagi aku teringat tentang mantra do’a kemarin, ah Tuhan baik sekali mengiyakan. Hujan, terima kasih untuk sedia mu pagi ini. Saat ini, aku benar-benar sedang butuh. Sangat.
Seperti halnya waktu hujan dan segala yang dulu terjadi kembali terulang, seperti hujan yang entah episode ke berapa untuk tak bosan diulang. Tapi, untuk kisah kali ini tidak seperti suka cita saat hujan turun, tidak sama sekali. Untuk kali ini, seolah mimpi buruk yang kembali terulang. Aku sendiri, sendiri dengan berbagai alasan untuk tetap bertahan, sendiri dengan segala ketakutan yang kucoba tak menguasai segalanya. Aku takut, aku ingin menangis, aku takut kisah lama kembali terulang.
Dear Tuhan, aku percaya akan setiap hal yang terjadi tak perlu ku pertanyakan mengapa? aku percaya semua ini tidak membutuhkan jawaban dan pertanyaan. Ketakutan ini seperti monster yang bersembunyi, meski tak terlihat namun dia ada. Tuhan aku sendiri disini, bersama hujan seolah engkau hibur dan sedikit membuatku lega, tentunya tidak banyak. Tapi ini cukup bagiku, sungguh.
Seberapapun ketakutan itu hadir, seberapa banyak manusia menolak duka, bukankah tidak ada yang berdaya tentang semua ketetapan mu? dan aku tidak ingin menghabiskan sisa energi ku yang tidak banyak ini untuk keluh terlebih marah. Tidak, sungguh itu bukanlah pilihan. Lalu pada akhirnya, aku akan tetap menikmati duka ini sendirian, seperti saat-saat lalu. Untuk apa menghindar dari basah, bukankah itu tidak lebih baik dari menikmati tarian hujan.
Dan aku, aku akan berusaha untuk kembali baik-baik saja. Kehilangan dan duka tidak bisa dihindari meski seberapa hebat manusia itu, saat ini aku bergegas menyiapkan payung atau mengambil kain untuk sedikit menyapu hujan yang hadir. Begitulah, segalanya lebih baik diterima dan dipersiapkan, bahkan disembuhkan.
Hujan ini, hujan yang sekejap rasanya membuatku kembali memahami bahwa Tuhan percaya aku tak perlu seperti dulu untuk berlama-lama bersamanya. Karena iya percaya, diriku bukanlah manusia kecil yang selalu merengek, tak perlu berlama-lama terhibur dengan tarian hujan. Karena diriku sendiri telah cukup untuk segalanya, bukankah begitu? Barangkali memang benar, bahwa menjadi dewasa adalah tentang peran yang sudah Tuhan percayakan kuat sendiri. Sendiri.
Komentar
Posting Komentar