Hujan Januari
Januari hari ini, setelah berjalan cukup jauh. Saya bersama segalanya merindukan pulang dan rumah tempat bagaimana segalanya memeluk dan memahami. Tak siapapun setelah Tuhan yang berlaku demikian. Tidak, ternyata bersama hujan pun, adalah kejadian manis tentang segala peluk dan kehangatan sebenarnya yang dirindukan pemilik tubuh di tempat pulang.
Kabar segalanya tak seperti dikatakan baik pun tidak. Rasanya terlalu naif untuk menjadi salah satunya. Biarlah segalanya abu-abu seprrti awan sore ini yang turut serta menggandeng hujan kedamaian. Lagi, kabar dan kabar yang hadir membuat setiap lembar berterbangan menuntut tinta hitam. Seolah tak adil untuk tak diceritakan. Bagaimana ia selama ini berjalan jauh untuk sampai kembali pulang adalah hal yang tak biasa pun tak mudah.
Hujan, tahukah kamu betapa luar biasa yang terjadi. Sampai-sampai diri ini sulit bercerita. Adakah cerita terbaik selain cerita yang tak bisa diungkapkan? Adakah yang dapat mengalahkan cerita terhebat selain cerita yang tak lagi berderai air mata disaat tuannya ingin? Hujan, adakah kisah terbaik selain jatuhnya kamu di bumi?
Hujan, saya ingin menari bersama mu. Sri pernah mengatakan bahwa, menarilah bersama mu! Jangan pernah mengindar dari keciprat atau titik-titik basah. Kamu tetaplah kamu yang saat ini turun. Dan hujan, ajaklah saya menari dengan sukarela. Ajaklah saya untuk tersenyum ditengah jutaan dirimu yang basah. Hujan, semua ini berat seperti biasanya, dan bisakah saya berteman dengan segalanya? Bisakah segala yang datang memeluk saya dan menjadi teman. Ah hujan, rupanya saya terlalu acuh dan membuat dinding. Barangkali mereka telah datang untuk berteman, namun mungkinkah selama ini saya terlalu keras kepala untuk menolak?
Hujan, bukankah bumi adalah tempat dimana kamu menyempatkan singgah beberapa waktu? Duhai indah esa Tuhan menurunkan mu, lalu bisakah saya menyempatkan singgah beberapa waktu untuk langit tempat dimana kamu berdiam? Duhai esa Tuhan yang kuasa, rupanya kamu begitu istimewa. Ya hujan, rasanya saya ingin seperti mu yang dapat singgah dan menyapa bumi beberapa kali, entah apa yang terjadi di langit, tentang bintang, matahari dan segalanya entah apa yang terjadi hanya kamu sebagai penghuni langit yang tahu. Lalu akhirnya, kamu beristirahat sejenak dan singgah di bumi. Barangkali itu cukup membuat dirimu lebih baik, apakah demikian? Alangkah indahnya jika diri ini dapat Tuhan perkenankan untuk singgah, ya hujan. Bumi ini sangat melelahkan untuk saya, tapi saya tidak membenci apa yang kamu sukai ini. Bumi ini sungguh panggung sandiwara seperti kata ayat lalu. Bumi ini sungguh membuat hari-hari saya luar biasa. Dan atas segala yang terjadi, saya tidak menolak bahwa segalanya sungguh membuat saya belajar. Ya, belajar lagi. Apalagi jika bukan itu, seperti kata mereka.
Hujan, saya lelah tapi tidak ingin menyerah. Saya bukan pengecut dan tidak ingin jadi demikian. Saya ingin istirahat dan tidak ingin berututur sapa dengan peran sandiwara lain, rasanya energi ini harus bekerja dua kali lipat dari sekedar berhadapan dengan diri sendiri. Apakah ini yang dibutuhkan sosok manusia menuju kepala dua? Katanya segala cerita yang akan datang dikemas lebih luar biasa lagi. Ah Tuhan, bantu saya.
Hujan, jangan pulang terlebih dahulu meski tulisan ini akan pamit. Duduklah sampai, sampai saya merasa lebih baik. Teh dan kudapan hangat barangkali dapat menahan mu singgah lebih lama. Duduk dan singgahlah, singgahlah lebih lama, lalu pulanglah ketika pemuja mu ini merasa lebih baik. Terima kasih sudah hadir hari ini.
Komentar
Posting Komentar