Dongeng untuk September
Akhir pekan ditemani musik bumi yang menenangkan. Akhir pekan penuh maaf kepada September lalu juga beberapa hal yang dilewati begitu saja meski dengan hujan. Terkadang saya adalah jiwa tanpa arah, yang meninggalkan jejaknya tergesa. Meski hujan sekalipun yang menepuk bahu agar berhenti, namun tetap saja September dan waktu seolah membuat saya harus meminta maaf atas segalanya kali ini. Hujan pertama pada Oktober, hujan yang menepuk bahu saya untuk benar-benar diam tak berkutik. Lalu saya merayakan maaf atas September dan segalanya.
Ketidakhadiran September untuk sekedar singgah disini, mengingatkan saya betapa hidup dan waktu saling berlari begitu cepat hingga rasanya saya tertinggal banyak hal. Hal yang bahkan selalu menjadi pulang bagi saya. Lalu apakah pintu rumah saya masih terbuka saat ini? Apakah pintu itu masih ingin menjamu saya untuk menikmati segelas teh di tengah hujan? Entah kesalahan besar atau bagaimana, namun saya akui saya telah terlalu jauh berlari.
Pelarian bersama hal-hal berisik di waktu lalu, membawa saya pada jiwa yang bahkan tidak bisa bercerita saat hujan menyapa sekalipun. September begitu berisik, dan saya begitu asik bersama hal-hal yang belum sepatutnya menjadi rumah. Ah, entah mereka yang terlalu berisik atau saya yang tidak menyukainya. Namun jelas kenyataan bahwa saya tidak begitu baik bersama September. Meski bulan itu adalah bulan terbaik saat-saat hujan, namun apa artinya jika sedetik pun waktu saya tak tersisa untuk sekedar bermonolog dengan hujan. September benar-benar berisik, hingga saya terlempar jauh sampai tidak tahu harus apa selain menuruti.
Barangkali ini adalah dongeng anak kecil menuju kepala dua. Sudah sepatutnya saya pun menyadari bahwa dongeng anak kecil itu bukanlah tentang rumah anjing kesayangannya, bukan pula seragam merah putih yang selalu kotor saat menyapa tanah hujan. Ya, dongeng ini telah berjalan jauh pada anak kecil yang duduk diam di kasur bersama jutaan dunia yang menuntutnya. Ruangnya tak lagi seluas lapangan yang selalu ia mainkan saat dulu. Ruangnya saat ini begitu sempit namun dunianya begitu luas tak terbendung. Ada banyak hal dalam dongeng ini yang harus disadari, salah satunya adalah kenyataan bahwa dirinya bukanlah sosok anak kecil dalam dongeng. Dirinya saat ini adalah, sosok lain yang telah dipenuhi tuntutan dan banyak hal yang membutuhkan perannya. Ia begitu banyak berperan, sampai melupakan bahwa dirinya dan dunia terlalu berisik untuk ruang yang biasa mendengar lulaby ditemani bintang.
Dongeng tentang anak kecil pemilik rumah anjing itu telah menjadi manuskrip yang tersimpan rapi dalam laci tua. Meski begitu, namun sosok anak kecil itu tak pernah benar-benar berakhir, ia tetaplah hadir meski dalam ruang terkecil dalam tubuhnya. Tidak bisa, anak kecil itu tidak begitu siap untuk dongeng orang-orang besar yang begitu rumit. Orang-orang besar yang ia dambakan semasa rambut berikat dua, tidaklah seindah haluannya dahulu.
Begitulah tentang September dan ketidakhadiran atas banyak hal yang terjadi. Dongeng orang-orang besar telah membuatnya berjalan cukup jauh tanpa melihat apapun. Barangkali saya dan anak kecil dalam diri saya sedang terkejut dan tak tahu harus apa, hingga sempat terlempar jauh. Mungkin saja, ya mungkin saja ini hanyalah sementara. Berharap agar segala keterkejutan ini berlanjut damai bagi anak kecil yang seharusnya beristirahat. Mungkin saja, ini hanyalah sambutan bagaimana orang besar dalam tubuh saya setidaknya mengetahui bahwa hujan ini bukanlah hujan dengan tarian tanpa busana seperti dongeng terdahulu.
Komentar
Posting Komentar