Aku Adalah Hujan
12 November, 2021. Lima belas menit pada pukul lima sore. Dan Jakarta sore ini benar-benar gelap. Sangat gelap. Tidak seperti biasanya. Hukum alam adalah ketika aku yang selalu menarik diri untuk menulis disaat-saat seperti ini. Entah apa yang akan aku tulis, apa yang akan aku bicarakan, entahlah. Aku tidak tahu.
Seperti hujan yang sendiri walau ramai, dingin yang sesak saat menyapa tubuh. Aku selalu menganggap diriku adalah sosok hujan. Melankolis kata orang. Ramai, tapi tidak seramai itu. Hujan yang ramai bukan untuk hati yang sepi. Bukan untuk peluk ayah, cium ibu yang hadir. Hujan tidak sesempurna itu. Belum lagi bersama petir dan segala drama yang semesta ciptakan, membawa hujan pada ruang sendu tak berkesudah. Bagiku, aku adalah hujan yang menyedihkan. Menggiring setiap orang untuk melankolis, membawa pada hal tersulit untuk diungkapkan. Seperti hujan yang kasihnya hanya sebatas kasih pada langit dan bumi. Tak berharap akan selalu ada siluet merah, jingga hingga biru untuk hadir. Tidak ada. Aku adalah hujan yang sepi. Yang diam dalam alur rintiknya, bahkan untuk mengeluh jika terlalu lelah saat jatuh ke bumi pun tidak bisa. Sebenarnya, untuk mengeluh pun pada siapa? Tidak. Aku adalah hujan yang tidak diperuntunkan untuk mengeluh.
Aku adalah hujan yang dingin. Bahkan jika semesta menawarkan sesuatu, mungkin akan ku minta selimut setebal pelukan ibu ku dulu. Akan ku minta genggangaman tangan sebaik tangan ayah ku. Dan akan ku minta, setiap hangat dari para penghuni bumi untuk menyelimuti ku. Se dingin itu? Memang. Sedingin itu. Aku adalah hujan yang dingin bersama dingin tak berkesudah. Dan sampai sekarang, aku masih menunggu penawaran itu.
Hujan. Tubuhku yang sebenarnya. Tubuh yang berbalut nestapa rinai. Yang tiap incinya membutuhkan hangat. Tidak apa apa jika mereka bilang rakus, karena memang benar aku adalah hujan yang selalu dibicirakan orang. Yang katanya, mereka hanya menilai pada 'katanya' tidak tahu menahu tentang apapun. Bahkan tentang tetes terakhir hujan untuk bumi. Tidak ada yang tahu selain hujan itu sendiri. Hujan adalah tubuh terbaikku. Tidak apa, dengan segala kurangnya. Ya, aku adalah hujan yang terlalu sempurna dikatakan hujan. Rumit memang. Tapi seperti itulah. Hal rumit adalah jalan bagaimana tetes demi tetes yang turun bisa memaknai alur yang semesta berikan. Terima kaish tubuh ku, tubuh hujan yang baunya selalu menenangkan. Terima kasih, telah menjadi pemeran terbaik dalam alur semesta.
Komentar
Posting Komentar